Sabtu, 21 April 2012

Sejarah Islam Modernis di Minangkabau


BAB I
PENDAHULUAN


 A. Latar belakang
Dalam Teologi Transformatif, umat Islam diharapkan mampu mendialogkan teologis ke dalam realita. Hal ini sangat membutuhkan rasionalisasi pemahaman terhadap ajaran Islam, rasionalisasi erat kaitannya dengan modernisasi, oleh sebab itu modernisasi itu merupakan keharusan bagi umat Islam, karena modern sangat erat dengan ilmu pengetahuan.
Pada awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh pergolakan sosial dan intelektual. Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran, dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesui panduan syarak, agama Islam sangat ramai dibicarakan.Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya. Ulama-ulama Kaum Muda mendapat pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syekh Ahmad Khatib Al Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. Para pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah



 B. Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas dapat kita tarik beberapa pertanyaan mengenai pergerakan pembaharuan atau modernisasi yang digerakkan oleh ulama-ulama lulusan timur tengah di minangkabau (sumatera barat) antara lain:
1.      Apa yang menjadi alasan ulama kaum muda untuk melakukan gerakan modernisasi Islam di Sumatera Barat?
2.      Siapa yang menjadi pelopor pembaharuan pemikiran Islam di Minangkabau?
3.      Bagaimana system pendidikan setelah dilakukan pembaharuan atau modernisasi Islam di Minangkabau?

C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan penulisan adalah:
1.        Mengetahui  asbab-musabbab pergerakan modernisasi islami yang dilakukan oleh ulama kaum muda di Sumatera Barat.
2.        Mengetahui tokoh-tokoh yang mempelopori pembaharuan pemikiran islam di minang kabau (Sumatera Barat)
3.        Mengetahui perkembangan pendidikan yang sudah memiliki sitem kurikulum.


BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH GERAKAN ISLAM MODERNIS DI MINANGKABAU

    A. Tahap Puritanisasi
Puritanisasi[1]dalam catatan sejarah Minangkabau menjadi embrio gerakan nasionalisme yang tergabung dalam gerakan Paderi. Kelompok puritan di mulai semenjak kepulangan tiga Haji ke ranah Minang. Di antaranya adalah Haji Miskin. Gerakan Haji Miskin ini pada awalnya tidak diterima oleh masyarakat, karena gerakannya terkesan keras dan sering berbenturan dengan masyarakat, bahkan ia pernah membakar pasar[2] yang sering dijadikan gelanggang judi, tuak dan adu jago. Di samping itu, kekerasan Haji Miskin sering dihadang oleh kubu-kubu yang tidak senang dengan cara yang frontal. Haji Miskin dan pengikutnya pernah terlibat perkelahian dan Haji Miskin melarikan diri ke Bukit Kamang, karena kelompoknya kalah.
Walaupun puritanisasi sering gagal dan tidak diterima masyarakat, pergerakan ini tidak pernah berhenti. Haji Miskin dalam pelariannya menemukan seorang teman yang sefaham yakni Tuanku Nan Renceh. Kabolarasi dua tokoh ini mengakibatkan pemurnian Islam di Minangkabau semakin militan. Tuanku Nan Renceh tidak sabar untuk menegakkan syariat Islam, mencontoh aliran Wahabi dengan menyerukan jihad yang integral. Bahkan dikabarkan, Tuanku Nan Renceh memulai jihadnya dengan membunuh kakak perempuan ibunya yang mengkonsumsi tembakau, karena dalam perspektif Islam mengisap tembakau tidak cocok dengan syariat.
Gerakan puritanisasi ini secara bertahap bisa diterima oleh masyarakat Minangkabau, ditandai dengan berkembangnya wilayah-wilayah dakwah dari kelompok puritan dan juga ditopang oleh kinerja Harimau Nan Salapan. Gerakan mulai merambah menjadi gerakan perjuangan melawan strategi penjajahan Belanda, dengan terbentuknya gerakan Paderi tercermin ketika Tuanku Imam Bonjol menentang penjajahan Belanda.[3]
Peran ulama mempunyai double legal, yakni sebagai ulama yang menyempurnakan pemahaman dan penyebaran ajaran agama di tengah umatnya, serta sebagai penyebar paham kebangsaan. Mungkin inilah makna jihad yang dimaksud oleh Tuanku Nan Renceh, ketika hendak melakukan puritanisasi di Minangkabau; Jihat Hati dan Jihat Lidah dan Tangan yang terangkum dalam gerakan perang suci.
    B. Tahap modernisasi
            Modern bukan diartikan sebagai “komponen Barat” tetapi lebih dimaknai sebagai setting keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Max Weber, Robert N. Bellah dan Clifford Geertz, melihat agama sebagai inspirator dari sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya. Durkheim juga mengungkapkan agama itu sui generis, oleh Richardson disebutnya sebagai felt whole “perasaan menyeluruh” yang dibangun oleh agama, sehingga agama hadir dalam konteks apa pun, dan dijadikan sebagai inspirator oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang berakal untuk mencerahkan peradaban.[4]
          Modernisasi Islam dipahami sebagai perubahan paradigma pemikiran umat Islam, bukan membangun definisi Islam yang baru. Dilihat dari alur pemikiran, lahirnya paradigma ini disebabkan “ketidakrelaan” kelompok pemikir terhadap ketertinggalan umat Islam dalam “merancah” dunia sosialnya, serta kepicikan pemikiran umat Islam dalam mentransfer literasinya ke dalam dunia nyata.
            Di Minangkabau, paradigma pemikiran modernisasi Islam ini sebenarnya sudah muncul semenjak lahirnya puritanisasi sebagai pendobrak pemurnian pemahaman Islam orang Minangkabau yang sinkretisme. Namun, modernisasi Islam lebih berkembang ketika awal abad ke-19 seiring dengan bergeraknya kaum agama membangun sekolah-sekolah agama modern, mengubah sistem surau yang tradisional dengan sistem pendidikan modern yang klasikal, berijazah dan memiliki kurikulum. Di Padang Panjang misalnya, surau Jembatan Besi dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah Ahmad dan Haji Rasul menjadi cikal bakal sekolah Thawalib. Sekolah ini sangat berpengaruh di Minangkabau.[5]
          Proses modernisasi dilakukan melalui dua cara; Pertama, melalui injection motivation, dan kedua melalui revolusi think tank. Cara pertama lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di Minangkabau, modernisasi dalam institusi pendidikan sangat pengaruhi oleh sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir. Sistem ini dibawa oleh ulama-ulama Minangkabau dan diterapkan dalam sistem pendidikan Islam lokal. Akhirnya, terjadi pembaruan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah,[6] yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah, serta terjadi perombakan-perombakan dalam kurikulum pendidikan. Aktor pembaharuan ini di antarannya:

1. Syekh Ahmad Khatib EL Minangkabawy (1855).
Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai.Limbak Urai adalah saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras, Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai Bukittinggi.Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek Koto dan Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya
Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam pemikiran Islam di Mesir.Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama, penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan Republik Indonesia.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai harta rampasan.Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang adakalanya disebut kaum tua.
Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu.Kecamannya dalam harta warisan, menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama.Di antara guru agama banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk meninggalkan keterbelakangan.
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya.Dengan cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya. Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.Ulama zuama bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan. Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu ditemukan kembali dalam agama.
Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan. Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad, yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah kurnia Allah.[7]
Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu. Murid-muridnya kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh Muhammad
Djamil Djambek (1860 – 1947) , Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933) .[8]

  2. Haji Abdul Karim Amarullah .
Haji Abdul Karim Amarullah lebih dikenal dengan nama Haji Rasul. Haji Rasul dilahirkan di Sungai Batang Maninjau pada tahun 1879, anak seorang ulama bernama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Ia mendapat pendidikan pada beberapa tempat di Minangkabau. Pada tahun 1894, ia pergi ke Mekah untuk belajar selama 7 tahun. Sekembalinya dari Mekah, ia diberi gelar Tuanku Syekh Nan Mudo, sebagai pengakuan atas ilmunya. Kemudian ia kembali ke Mekah untuk beberapa tahun sampai tahun 1906. Selama bermukim kedua di Mekah ini, ia mulai memberi pelajaran. Murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari Parabek, Bukittinggi yang kemudian menjadi salah seorang pendukung yang terpenting dari pembaruan pemikiran Islam, di Minangkabau. Ia meninggal di jakarta pada 2 Juni 1945.
Haji Rasul mulai mengajar di kampungnya, Sugai Batang Maninjau, kemudian mengunjungi Padang Panjang, Matur dan Padang. Tablighnya bersifat keras, yang ditandai dengan serangan terhadap perbuatan yang tidak disetujuinya sampai soal-soal kecil sekali pun, seperti ia mengecam baju kebaya dan terbukanya rambut seorang perempuan di hadapan bukan muhrimnya. Ketika ayahnya meninggal pada tahun 1907, ia melarang diadakan kenduri yang menyebabkan kekecewaan pada anggota keluarganya. Sikapnya bermusuhan terhadap adat dan kepada ninik mamak yang membedakannya dari sahabatnya kaum pembaru lainnya seperti Syekh Djamil Djambek dan Haji Abdullah Ahmad yang ibu mereka berasal dari luar Minangakabau.
Haji Rasul mengadakan perjalanan ke luar daerah Minangkabau. Pada tahun 1915, ia bepergian ke Malaya dan ke Jawa. Di Malaya, Haji Rasul tidak disenangi oleh Sultan-Sultan serta guru agama di Malaya, karena keterikatan guru-guru agama dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional. Di Jawa, ia berhubungan dengan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan Muhamma-diyah.Haji Rasul sangat aktif dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Dialah yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925. Suraunya di Padang Panjang tumbuh menjadi Sumatra Thawalib yang kemudian melahirkan Persatuan Muslimin Indonesia, suatu partai politik pada permulaaan tahun 1930. Ia menjadi penasehat Persatuan Guru Agama Islam (PGAI) pada tahun 1920, dan memberikan bantuan mendirikan Sekolah Normal Islam di Padang pada tahun 1931. Ia menentang ajaran komunis dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan menyerang ‘’Ordonansi Guru” pada tahun 1928 serta ‘’Ordonansi Sekolah Liar ‘ tahun 1932.
Dari tahun 1929 sampai tahun 1939, ia sering bepergian ke seluruh daerah di Sumatra untuk menyampaikan buah pikiran dan ajaran-ajarannya.
[9]
Pada tahun 1941, ia ditahan Pemerintah Belanda dan dibuang ke Sukabumi dengan alasan bahwa kewibawaan dan kekuasaan pemerintah serta peraturan adat tidak berfunghsi selama ia bertempat tinggal di daerahnya. Haji Rasul meninggal dunia di Jakarta pada tanggal 2 Juni 1945.[10]

 3. Haji Abdullah Ahmad (1878 – 1933)
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878 sebagai anak dari Haji Ahmad yang dikenal sebagai ulama dan juga seorang pedagang kecil. Ibunya berasal dari Bengkulu. Setelah menyelesaikan pendidikan dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah, dan mendapat pendidikan agama di rumah dengan ayahnya. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekah dan kembali ke Indonesia pada tahun 1899. Sekembalinya dari Mekah, ia segera mengajar di kota Padang Panjang. Tindakannya yang pertama dilakukannya adalah memberantas bid’ah dan tarekat. Ia tertarik pula untuk menyebarkan pemikiran pembaruan melalui publikasi dengan jalan menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan, seperti Al-Imam di Singapuran dan Al-Ittihad dari Cairo.
Pada tahun 1906 Haji Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menggantikan pamannya yang meninggal dunia sebagai guru. Di Padang, ia mengadakan tabligh-tabligh dan pertemuan-pertemuan tentang masalah agama dan mendirikan Jamaah Adabiyah beberapa tahun kemudian. Pada mulanya jamaah ini hanaya delapan orang yang menghadiri cermahnya. Di samping itu ia memberikan ceramah-ceraman pada orang dewasa. Pengajiannya dilakukan dua kali seminggu secara bergantian dari rumah ke rumah Kenyataannya tidak semua anak-anak pedagang di Padang mendapat pendidikan yang sistematis. Hal ini menyebabkan Haji Abdullah Ahmad membuka Sekolah Adabiyah pada tahun 1909, dengan bantuan para pedagang ini setelah ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura.
Haji Abdullah Ahmad sangat aktif menulis, malahan ia menjadi ketua persatuan wartawan di Padang pada tahun 1914. Ia mempunyai hubungan yang erat dengan pelajar-pelajar sekolah menengah di Padang dan Sekolah Dokter di Jakarta dan memberikan bantuan dalam kegiatan Jong Sumatranen Bond. Ia menjadi pendiri majalah Al-Munir yang terbit di Padang tahunn 1911 sampai tahun 1916, majalah berita Al-Akhbar tahun 1913, dan menjadi redaktur dalam bidang agama dari majalah Al-Islam tahun 1916 yang diterbitkan Sarekat Islam di Surabaya. Majalah A l-Islam yang dicetak dengan tulisan Arab Melayu (Jawi). Pananggungjawab Al-Islam adalah Oemar Said Cokroaminoto.Pengetahuannya tentang agama sangat mendalam, yang diakui ulama-ulama Timur Tengah pada suatu konperensi khilafat di Kairo pada tahun 1926. Pengakuan itu dibuktikan dengan pemberian gelar kehormatan dalam bidang agama sebagai doktor fid- din. Haji Abdullah Ahmad meninggal dunia di Padang pada tahun 1933.[11]

4.Syekh M. Djamil Djambek
Di awal abad 20, Inyiak Djambek dikenal sebagai ahli ilmu falak terkemuka, dan mendirikan rumah ibadah yang dikenal dengan Surau Sjech M. Djamil Djambek pada tahun 1908., Sebagai ulama Inyiak Djambek tidak hanya meninggalkan karya-karya besar dalam bentuk manuskrip, tradisi lisan, bahasa dan sastra, kelem­bagaan tradisional, buku dan naskah-naskah kuno dalam bahasa Arab Melayu, tetapi Beliau juga mewariskan Surau sebagai asset lokal alam tamadun kejayaan Islam Minangkabau pada tempo dulu, tentu dengan harapan dihari-hari mendatang akan dikembangkan oleh generasi penerus (keluarga dan masyarakat Islam) sesuai dengan kebutuhan zaman
Ketika berusia 22 tahun, Sjech M. Djamil Djambek dibawa ayahnya berguru kepada Sjech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di Mekkah. Awalnya M. Djamil Djambek tertarik untuk mempelajari ilmu sihir. Namun beliau disadarkan dan diinsyafkan oleh gurunya tersebut. Selama belajar di tanah suci, banyak ilmu agama yang beliau dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan pendalaman tersebut Sjech M. Djamil Djambek menjadi seor­ang ahli tarekat, bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsaban­diyyah-Khalidiyah. Namun,seiring berjalannya waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah. Sjech. M. Djamil Djambek tidak lagi tertarik pada tarekat.
Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padangpanjang, Sjech. M. Djamil Djambek berada di pihak yang menentang tarekat. Dia “berhadapan” dengan
Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat. Salah satu penjelasan dalam buku yang berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan segala yang berhubun­gan dengan Dia (Allah SWT), dinyatakan bahasa tarekat Naksyaban­diyyah diciptakan oleh orang Persia dan India. Sjech. M. Djamil Djambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat
Minangkabau. Tahun 1929, Sjech. M. Djamil Djambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Mi­nangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencin­tai adat istiadat setempat. Di samping untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, beliau juga turut menghadiri kongres pertama MajelisTinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnyadalam perjala­nan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Sjech. M. DjamilDjambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukit­tinggi, dantetap menjalankan aktifitas dakwah, meskipun mendapat tantangan daripenjajah Jepang.
Pada tahun 1903, beliau kembali ke tanah air dan memilih menga­malkanilmunya secara langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji. Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keaga­maandi Sumatra Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam , Sjech. M. Djamil Djambek jugadikenal sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig dimuka umum. Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya
dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw,digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad Sawdalam bahasa Melayu.

BAB III
PENUTUP


 A. Kesimpulan
Ulama merupakan figur sentral penting dalam pendidikan di Minangkabau. Ulama merupakan tokoh kunci dalam membangun karakteristik Minangkabau yang berasaskan adat basandi syarak, syarak bansandi kitabullah. Dari segi pemikiran, ulama sebenarnya telah membentangkan pemikirannya melalui institusi pendidikan yang didirikannya sendiri, terutama sekali melalui institusi pendidikan surau. Dalam pergerakan pendidikan, eksistensi ulama sekurang-kurangya telah memberikan dua sumbangsih, yakni sebagai penyebaran aliran ajaran agama Islam, dan kedua sebagai penyebaran pemikiran ulama itu sendiri. Penyebaran pemikiran ini kemudian menjadi cikal bakal pergerakan dan kemudian membuat link guru dengan murid tidak terputus. Kultur link seperti ini mampu mempercepat penyebaran Islam dan transformasi masyarakat Minangkabau.




DAFTAR PUSTAKA

Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana 1990.
Gazalba, Sidi, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Antara 1983.
Nain, Sjafnir Aboe, Tuanku Imam Bonjol; Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau 1784-1832. Padang: Penerbit Esa, 1988.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia tahun 1855-1945. Jakarta: LP3ES 1980.
http://google.com//Sejarah Islam modernis di Minangkabau


[1] Yakni kelompok ulama yang mengadakan pembaruan atau pemurnian atas sinkretisme pemahaman dan pengalaman keagamaan masyarakat
[2] Pasar yang dibakarnya itu adalah pasar Pandai Sikek, karena awal pergerakan Haji Miskin dimulai dari daerah ini bersama temannya Datuak Batuah
[3] Sjafnir Aboe Nain, Tuanku Imam Bonjol; Sejarah Intelektual Islam di Minangkabau 1784-1832. Padang: Penerbit Esa 1988, hlm.132
[4] http://google.com//Sejarah Islam modernis di Minangkabau, diakses tanggal 07 juni 2001
[5]Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1990. hlm.63
[6]Sidi Gazalba, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Antara,1983. hlm.55 
[7]Burhanuddin, op.cit, hlm.65
[8] Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1855-1945. Jakarta: LP3ES 1980. hlm.40
[9] Sidi Gazalba, lock. cit, hlm.57
[10] Deliar Noer, op. cit, hlm.43
[11]Deliar Noer, ibid, hlm.46

Jenis, Fungsi dan Tujuan Pengambilan Keputusan


BAB I
PENDAHULUAN


A.       Latar Belakang Masalah
     Setiap organisasi, baik dalam skala besar maupun kecil, terdapat terjadi perubahan-perubahan kondisi yang dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan eksternal dan internal organisasi. Dalam menghadapi perkembangan dan perubahan yang terjadi maka diperlukan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat. Proses pengambilan keputusan yang cepat dan tepat dilakukan agar roda organisasi beserta administrasi dapat berjalan terus dengan lancar
     Pengambilan keputusan tersebut dilakukan oleh seorang manajer atau administrator. Kegiatan pembuatan keputusan meliputi pengindentifikasian masalah, pencarian alternatif penyelesaian masalah, evaluasi daripada alternatif-alternatif tersebut, dan pemilihan alternatif keputusan yang terbaik. Kemampuan seorang pimpinan dalam membuat keputusan dapat ditingkatkan apabila ia mengetahui dan menguasai teori dan teknik pembuatan keputusan. Dengan peningkatan kemampuan pimpinan dalam pembuatan keputusan maka diharapkan dapat meningkatkan kualitas keputusan yang dibuatnya, sehingga akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas kerja organisasi.
     Pembuatan keputusan diperlukan pada semua tahap kegiatan organisasi dan manajemen. Misalnya, dalam tahap perencanaan diperlukan banyak kegiatan pembuatan keputusan sepanjang proses perencanaan tersebut. Keputusan-keputusan yang dibuat dalam proses perencanaan ditujukan kepada pemilihan alternative program dan prioritasnya. Dalam pembuatan keputusan tersebut mencakup kegiatan identifikasi masalah, perumusan masalah, dan pemilihan alternatif keputusan berdasarkan perhitungan dan berbagai dampak yang mungkin timbul. Begitu juga dalam tahap implementasi atau operasional dalam suatu organisasi, para manajer harus membuat banyak keputusan rutin dalam rangka mengendalikan usaha sesuai dengan rencana dan kondisi yang berlaku. Sedangkan dalam tahap pengawasan yang mencakup pemantauan, pemeriksaan, dan penilaian terhadap hasil pelaksanaan dilakukan untuk mengevalusai pelaksanaan dari pembuatan keputusan yang telah dilakukan.
     Hakikatnya kegiatan administrasi dalam suatu organisasi adalah pembuatan keputusan. Kegiatan yang dilakukan tersebut mencakup seluruh proses pengambilan keputusan dari mulai identifikasi masalah sampai dengan evaluasi dari pengambilan keputusan yang melibatkan seluruh elemen-elemen dalam administrasi sebagai suatu sistem organisasi. Artinya dalam membuat suatu keputusan untuk memecahkan suatu permasalahan yang ditimbulkan dari adanya perubahan-perubahan yang terjadi dalam organisasi dibutuhkan informasi yang cukup baik dari internal maupun eksternal organisasi guna mengambil keputusan yang tepat dan cepat.
     Pada akhirnya, kegiatan pengambilan keputusan yang cepat dan tepat merupakan bagian dari kegiatan administrasi dimaksudkan agar permasalahan yang akan menghambat roda organisasi dapat segera terpecahkan dan terselesaikan sehingga suatu organisasi dapat berjalan secara efisien dan efektif dalam rangka mencapai suatu tujuan organisasi.

B.        Rumusan Masalah
1.      .Apa sajakah jenis-jenis pengambilan keputusan dalam organisasi?
2.      Apa fungsi dan tujuan pengambilan keputusan itu ?

C.       Tujuan
1.      Mengetahui jenis-jenis pengambilan keputusan
2.      Mengetahui fungsi dan tujuan pengambilan keputusan

BAB II
PEMBAHASAN
JENIS, FUNGSI DAN TUJUAN PENGAMBILAN KEPUTUSAN

A.    Jenis-Jenis Pengambilan Keputusan
Masalah dan konflik terdapat di mana-mana. Beberapa di antaranya bersifat sederhana dan deterministik, sedangkan yang lain bersifat sangat kompleks dan probabilistik serta dapat menimbulkan pengaruh yang besar. Pengambilan keputusan dapat bersifat rutin dan memiliki struktur tertentu atau dapat juga bersifat sangat kompleks dan tidak berstruktur. Terdapat dua jenis pengambilan keputusan, yaitu :
1.      Pengambilan keputusan terprogram :
              Keputusan yang diprogram merupakan keputusan yang bersifat rutin dan dilakukan secara berulang-ulang sehingga dapat dikembangkan suatu prosedur tertentu. Keputusan yang diprogram terjadi jika permasalahan terstruktur dengan baik dan orang-orang tahu bagaimana mencapainya. Permasalahan ini umumnya agak sederhana dan solusinya relatif mudah. Di perguruan tinggi keputusan yang diprogram misalnya keputusan tentang pembimbingan KRS, penyelenggaraan Ujian Akhir Semester, pelaksanaan wisuda, dan lain sebagainya (Gitosudarmo, 1997).
Jenis pengambilan keputusan ini.mengandung suatu respons otomatik terhadap kebijaksanaan-kebijaksanaan yang telah ditetapkan sebelumnya. Masalah yang bersifat pengulangan dan rutin dapat diselesaikan dengan pengambilan keputusan jenis ini. Tantangan yang besar bagi seorang analis adalah mengetahui jenis-jenis keputusan ini dan memberikan atau menyediakan metode-metode untuk melaksanakan pengambilan keputusan yang terprogram di mana saja. Agar pengambilan keputusan harus didefinisikan dan dinyatakan secara jelas. Bila hal ini dapat dilaksanakan, pekerjaan selanjutnya hanyalah mengembangkan suatu algoritma untuk membuat keputusan rutin dan otomatik. [1]
Dalam kebanyakan organisasi terdapat kesempatan-kesempatan untuk melaksanakan pengambilan keputusan terprogram karena banyak keputusan diambil sesuai dengan prosedur pelaksanaan standar yang sifatnya rutin. Akibat pelaksanaan pengambilan keputusan yang terprogram ini adalah membebaskan manajemen untuk tugas-tugas yang lebih penting.
2.      Pengambilan keputusan tidak terprogram:
       Keputusan yang tidak diprogram adalah keputusan baru, tidak terstrutur dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya. Tidak dapat dikembangkan prosedur tertentu untuk menangani suatu masalah, apakah karena permasalahannya belum pernah terjadi atau karena permasalahannya sangat kompleks dan penting. Keputusan yang tidak diprogram dan tidak terstruktur dengan baik, apakah karena kondisi saat itu tidak jelas,metode untuk mencapai hasil yang diingankan tidak diketahui,atau adanya ketidaksamaan tentang hasil yang diinginkan(Wijono,1999).
       Keputusan yang tidak diprogram memerlukan penanganan yang khusus dan proses pemecahan masalah dengan intuisi dan kreatifitas. Tehnik pengambilan keputusan kelompok biasanya dilakukan untuk keputusan yang tidak diprogram. Hal ini disebabkan oleh karena keputusan yang tidak diprogram biasanya bersifat unik dan kompleks, dan tanpa kriteria yang jelas, dan umumnya dilingkari oleh kontroversi dan manuver politik (Wijono, 1999). Gillies (1996), menyebutkan bahwa keputusan yang tidak diprogram adalah keputusan kreatif yang tidak tersusun, bersifat baru, dan dibuat untuk menangani suatu situasi dimana strategi/ prosedur yang ditetapkan belum dikembangkan.
   keputusan tidak terprogram menunjukkan proses yang berhubungan dengan masalah-masalah yang tidak jelas. Dengan kata lain, pengambilan keputusan jenis ini meliputi proses- proses pengambilan keputusan untuk menjawab masalah-masalah yang kurang dapat didefinisikan. Masalah-masalah ini umumnya bersifat kompleks, hanya sedikit parameter'parameter yang diketahui dan kebanyakan parameter yang diketahui bersifat probabilistik. Untuk menjawab m'asalah ini diperlukan seluruh bakat dan keahlian dari pengambilan keputusan, ditambah dengan bantuan sistem infofmasi. Hal ini dimaksudkan untuk mendapatkan keputusan tidak terprogram dengan baik. Perluasan fasilitas-fasilitas pabrik, pengembangan produk baru, pengolahan dan pengiklanan kebijaksanaan- kebijaksanaan, manajemen kepegawaian, dan perpaduan semuanya adalah contoh masalah-masalah yang memerlukan keputusan-keputusan yang tidak terprogram. Sangat banyak waktu yang dikorbankan oleh pegawai-pegawai tinggi pemerintahan, pemimpin-pemimpin perusahaan, administrator sekolah dan manajer organisasi lainnya dalam menjawab masalah dan mengatasi  konflik. Ukuran keberhasilan mereka dapat dihubungkan secara langsung  kepada mutu informasi yang mendasari tugas ini.[2]
Pandangan terhadap pengambilan keputusan adalah bahwa proses ini merupakan proses penggunaan informasi yang rasional, bukan proses yang emosional, Dalam hal ini, kesukaran-kesukaran dalam pengambilan keputusan dapat dikaitkan kepada:
1.      Informasi yang tidak cukup dan
2.      Maksud dan tujuan yang tidak dispesifikasikan secara jelas. [3]
Pengambil keputusan mempunyai suatu cara untuk dapat memahami informasi yang menentukan efisiensi pengolahan informasinya. Pengetahuan seseorang yang lalu digabungkan dengan kecakapannya mengolah informasi akan menentukan kesanggupannya untuk mengambil keputusan.
 
B.     Fungsi dan tujuan pengambilan keputusan
1.    Fungdi pengambilan keputusan
       Pengambilan keputusan sebagai suatu kelanjutan dari cara pemecahan masalah mempunyai fungsi antara lain:
a.    Pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah baik secara individual maupun secara kelompok, baik secara lnstitusional maupun secara organisasional.
b.    Sesuatu yang bersifat futuristic, artinya menyangkut dengan hari depan/masa yang akan dating, dimana efeknya atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.[4]
2.    Tujuan Pengambilan Keputusan
       Kegiatan-kegiatan yang dilakukan dalam organisasi itu dimaksudkan untuk mencapai tujuan organisasinya yang dimana diinginkan semua kegiatan itu dapat berjalan lancer dan tujuan dapat dicapai dengan mudah dan efisien. Namun, kerap kali terjadi hambatan-hambatan dalam melaksanakan kegiatan. Ini merupakan masalah yang hatus dipecahkan oleh pimpinan organisasi. Pengambilan keputusan dimaksudkan untuk memecahkan masalah tersebut[5]


BAB III
PENUTUP


A.    Kesimpulan
            Pengambilan keputusan dapat bersifat rutin dan memiliki struktur tertentu atau dapat juga bersifat sangat kompleks dan tidak berstruktur. Terdapat dua jenis pengambilan keputusan, yaitu :
  1. Pengambilan keputusan terprogram
  2. Pengambilan keputusan tidak terprogram
Pengambilan keputusan sebagai suatu kelanjutan dari cara pemecahan masalah mempunyai fungsi antara lain:
1.      Pangkal permulaan dari semua aktivitas manusia yang sadar dan terarah baik secara individual maupun secara kelompok, baik secara lnstitusional maupun secara organisasional.
2.      Sesuatu yang bersifat futuristic, artinya menyangkut dengan hari depan/masa yang akan dating, dimana efeknya atau pengaruhnya berlangsung cukup lama.




DAFTAR PUSTAKA

Lutfan F, Perilaku Organisasi Edisi 10, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006
Kasim, Azhar. Teori Pembuatan Keputusan. Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI. 1995
Syamsi, Ibnu. Pengambilan Keputusan (Decision Making). Jakarta : Bina Aksara. 1989



[1] Syamsi, Ibnu. Pengambilan Keputusan (Decision Making). Jakarta : Bina Aksara. 1989 hlm. 36

[2]Ibid, hlm.38
[3] Kasim, Azhar. Teori Pembuatan Keputusan. Jakarta : Lembaga Penerbit FE UI. 1995 hlm. 45
[4] Lutfan F, Perilaku Organisasi Edisi 10, Yogyakarta: Penerbit Andi, 2006 hlm. 66
[5] Ibid, hlm.67