Jumat, 16 November 2012

PENEMPATAN, PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN (MSDM)

PENEMPATAN, PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN


A.    Penempatan
       Dari setiap pekerja dalam organisasi diharapkan adanya komitmen penuh terhadap organisasi, tidak sekedar ketaatan kepada berbagai ketentuan kepegawian yang berlaku dalam organisasi yang bersangkutan. Tetapi dalam pada itu organisasi pun mutlak perlu menanamkan dalam diri para karyawannya bahwa dengan komitmen penuh pada organisasi, berbagai harapan, cita-cita dan harapan para pegawai itu akan terwujud dan terpenuhi.
      Hari-hari pertama seorang pekerja baru sangat menentukan “perjalanan” selanjutnya dalam meniti karier dalam organisasi yang bersangkutan. Merupakan hal yang sangat normal dan wajar bahwa pada hari-hari pertama itu, berbagai pertanyaan timbul dalam diri pekerja baru tersebut seperti:
1.    Apakah organisasi yang baru menerimanya benar-benar cocok sebagai tempat berkarya dan meniti karier atau tidak.
2.    Apakah pegawai yang bersangkutan baru mampu melaksanakan tugas yang dipercayakan kepadanya.
3.    Apakah pegawai baru yang bersangkutan akan disenangi oleh orang-orang lain dengan siapa ia berinteraksi seperti atasan, rekan sekerja, dan bagi mereka yang menduduki jabatan manajerial, para bawahan
4.    Berbagai pertanyaan lain yang sejenis.
 Salah satu cara yang segera dapat ditempuh adalah menunjukkan penerimaan yang ikhlas sambil menegaskan bahwa pegawai baru itu dapat diharapkan akan menjadi pekerja yang produktif. Loyal kepada organisasi dan kepada teman sekerja dan berperilaku positif, sekaligus memberi kesan bahwa organisasi akan berusaha memenuhi kepentingan pegawai yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, sejak dini harus ditekankan bahwa jika pegawai baru itu menunaikan kewajiban dengan baik, dia akan memperoleh hak dan kewajiban masing-masing pihak, merupakan jaminan serasinya hubungan antara pegawai dengan organisasinya.
Penekanan ini menjadi lebih penting mendapat perhatian para pengelola sumber daya manusia dalam setiap organisasi karena ada kecenderungan tingginya jumlah pegawai baru yang minta berhenti. Pengalaman banyak organisasi menunjukkan persentase yang relatif tinggi di kalangan pekerja baru yang berhenti. Keadaan yang demikian bukanlah hal yang luar biasa. Berbagai alasan berkisar pada:
1.    Kuatnya perasaan bahwa organisasi tidak/kurang sesuai dengan gambaran yang sebelumnya diperoleh.
2.    Keragu-raguan para pekerja baru  sendiri tentang kemampuannya melaksanakan tugas.
3.    Situasi kerja yang dihadapi pada hari-hari pertma yang berbeda dari kesan yang pernah diperoleh.
4.    Bentuk dan sifat penerimaan para pekerja lama yang mungkin dirasakan kurang bersahabat.
       Di atas telah dikatakan bahwa tingginya prestasi pegawai baru yang berhenti bukanlah hal yang luar biasa. Dikatakan demikian bukan hanya karena keadaan seperti itu lumrah terjadi, akan tetapi juga karena memang lebih baik apabila orang-orang tertentu berhenti secepatnya sebelum organisasi mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk membayar gaji, asuransi, kesejahteraan pegawai dan pengembangannya, padahal mereka tidak akan berkarya dalam waktu yang cukup lama bagi organisasi. Meskipun demikian, jika persentase pegawai baru yang berhenti itu tinggi, perlu dipelajari faktor-faktor penyebabnya. Jika ternyata faktor-faktor penyebabnya itu bersumber dari situasi negatif dalam organisasi, hal tersebut harus diterima sebagai masukan penting bagi organisasi dalam mengambil langkah-langkah perbaikannya.
       Jelaslah bahwa dalam mewaspadai keadaan seperti itu para pejabat dan petugas yang bertanggungjawab mengelola sumber daya manusia dalam organisasi perlu bersikap proaktif dalam arti bahwa mereka harus mampu mengambil langkah-langkah yang diperlukan agar para pegawai baru merasa betah. Mereka hanya akan merasa betah berkarya dalam organisasi apabila merasa cocok untuk berkarier dalam organisasi yang baru dimasukinya. Salah satu cara  yang tepat untuk ditempuh dalam sikap yang proaktif itu adalah mengusahakan terjadinya sosialisasi di kalangan para pegawai baru. Yang dimaksud dengan proses sosialisasi adalah usaha sadar yang dilakukan oleh organisasi melalui para pejabat dan petugas pengelola sumber daya manusia serta atasan langsung para  pegawai baru yang ditujukan pada pemahaman kultur organisasi. Nilai-nilai organisasi yang dianut, norma-norma yang berlaku dan tradisi organsasi. Dengan demikian para pegawai baru akan memahami dengan tepat:
1.    Apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan
2.    Bagaimana sebaiknya berprilaku yang akseptabel
3.    Penyesuaian-penyesuaian apa yang perlu dilakukan
4.    Kebiasaan-kebiasaan pribadi apa yang perlu ditinggalkan jika tidak sesuai dengan kebiasaan-kebiasaan organisasi.
        Dengan demikian para pegawai baru itu dalam waktu yang tidak terlalu lama menjadi anggota organisasi yang benar-benar memahami sikap, berprilaku dan tindakan yang mengakibatkan seorang diterima sebagai anggota organisasi yang baik. Semakin cepat para pegawai baru itu memahami cara bertindak dan berprilaku yang akseptabel, semakin cepat pula mereka mampu memberikan kontribusinya yang optimal. Semakin kecil pula kemungkinan karena minta berhenti.[1]
       Banyak orang yang berpendapat bahwa penempatan merupakan akhir dari proses seleksi. Menurut pandangan ini, jika seluruh proses seleksi telah ditempuh dan lamaran seseorang telah ditempuh dan lamaran seseorang diterima, akhirnya seseorang memperoleh status sebagai pegawai dan ditempatkan pada posisi tertentu pula. Pandangan demikian memang tidak salah sepanjang menyangkut para pegawai baru. Hanya saja teori manajemen sumber daya manusia yang mutakhir menekankan bahwa penempatan tidak hanya berlaku bagi para pegawai baru, akan tetapi berlaku pula bagi para pegawai lama yang mengalami alih tugas dan mutasi. Berarti konsep penempatan mencakup promosi, transfer dan bahkan demosi sekalipun. Dikatakan demikian karena sebagai mana halnya dengan para pegawai baru, pegawai lama pun perlu direkrut secara internal, perlu dipilih dan biasanya juga menajalani program pengenalan sebelum mereka ditempatkan pada posisi baru dan mengerjakan baru pula. Sifat program pengenalan yang harus dilalui pun agak berbeda dengan kegiatan yang harus diikuti oleh para pegawai baru. Lingkup program pengenalan itu lebih sempit karena terbatas pada pengenalan yang baru sedangkan hal-hal yang menyangkut aspek organisasional dan kepentingan pegawai tidak lagi dijadikan bagian dari program pengenalan karena pegawai yang bersangkutan telah mengetahui yang lebih baik.[2]
B.     Pelatihan dan pengembangan
1.    Pengertian dan tujuan pelatihan dan pengembangan
       Pelatihan adalah setiap usaha untuk memperbaiki performasi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang menjadi tanggungjawabnya, atau satu pekerjaan yang ada kaitannya dengan pekerjaannya. Istilah pelatihan sering disamakan dengan istilah pengembangan. Pengembangan (development) menunjuk kepada kesempatan-kesempatan belajar (Learning oppotunities) yang didesain guna membantu pengembangan para pekerja. Kesempatan yang demikian tidak terbatas pada upaya perbaikan performansi pekerja pada pekerjaannya yang sekarang, jadi pelatihan langsung berkaitan dengan performansi kerja, sedang pengembangan (development) tidaklah harus.
       Pelatihan sering dianggap sebagai aktivitas yang paling dapat dilihat umum dari semua aktivitas kepegawaian. Para majikan melakukan pelatihan karena melalui pelatihan para pegawai akan menjadi lebih terampil, dan karenanya lebih produktif, sekalipun manfaat-manfaat tersebut harus diperhitungkan dengan waktu yang tersita ketika pegawai sedang dilatih.
       Pelatihan hanya bermanfaat dalam situasi di mana para pegawai kekurangan kecakapan dan pengetahuan. Pelatihan tidak dimaksudkan untuk menggantikan kriteria seleksi yang tidak memadai,  ketidaktepatan rancangan pekerjaan, atau imbalan organisasi yang tidak memadai. Pelatihan lebih sebagai sarana  yang ditujukan pada upaya untuk lebih mengaktivkan kerja para anggota organisasi yang kurang aktiv sebelumnya, mengurangi dampak-dampak negatif yang dikarenakan kurangnya pendidikan, pengalaman yang terbatas, atau kurangnya kepercayaan diri dari anggota atau kelompok anggota tertentu.[3]
       Pelatihan dan pengembangan ditujukan untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi kerja para karyawan. Pelatihan ditujukan untuk meningkatkan prestasi kerja saat ini, sedangkan pengembangan ditujukan untuk meningkatkan prestasi saat ini dan masa depan. Pelatihan diarahkan untuk membantu karyawan melaksanakan pekerjaan saat ini secara lebih baik. Pengembangan mewakili investasi pengembangan yang berorientasikan masa depan para diri karyawan. Baik karyawan manajerial maupun nonmanajerial akan menjalani pelatihan dan pengembangan. Karyawan nonmanajerial barang kali akan lebih banyak menerima pelatihan yang bersifat teknis dibandingkan dengan manajer yang lebih banyak menerima pengembangan dalam bentuk keterampilan konseptual atau analitis dan keterampilan hubungan manusiawi untuk memperdalam wawasan mereka guna membawa rekrutmen pada tujuan yang strategis dan spesifik.[4]
2.    Langkah-langkah pelatihan dan pengembangan


 














a.    Mengidentifikasi kebutuhan pelatihan
       Dalam tahap awal, organisasi perlu membuat identifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan. Siap saja yang perlu diberikan pelatihan dan pengembangan? Apa yang perlu dipelajari oleh karyawan? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, manajemen dapat menggunakan langkah-langkah sebagai berikut:
1)   Evaluasi prestasi
       Melakukan monitoring pada setiap karyawan dan hasilnya dibandingkan dengan standar prestasi atau target rekrutmen. Karyawan yang mempunyai hasil prestasi kurang atau di bawah standar yang telah ditetapkan organisasi, mengindikasikan organisasi perlu mengadakan program pelatihan dan pengembangan karyawan.

2)   Analisis persyaratan kerja
       Organisasi perlu mengetahui kemampuan dan keahlian yang dimiliki karyawan. Karena jila karyawan diserahi tugas atau pekerjaan, tetapi tidak memiliki keterampilan yang mendukung pekerjaan tersebut maka karyawan tersebut membutuhkan pelatihan.
3)   Analisis organisasi
       Analisis organisasi bertujuan meninjau kembali apakah tujuan organisasi secara keseluruhan sudah tercapai atau  belum. Tujuan oraganisasi secara keseluruhan perlu ditinjau kembali apakah memang sudah mencapai target atau belum. Apabila organisasi tidak atau belum mencapai target dengan efektif maka manajemen perlu program pelatihan.
4)   Survei sumber daya manusia
       Seluruh manajemen dan karyawan diminta menjelaskan masalah dan hambatan yang dihadapi selama program ini berlangsung untuk mengetahui tindakan apa yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut.
b.    Menentukan tujuan pelatihan dan pengembangan
       Berbagai bentuk alternatif tujuan lainnya memang harus secara gamblang ditentukan untuk mengetahui kearah mana rekrutmen akan membentuk sumber daya manusianya dengan aplikasi program ini. Berikut langkah-langkahnya:
1)   Mengidentifikasi keterampilan-keterampilan kinerja jabatan khusus yangdibutuhkan untuk memperbaiki kinerja dan produktivitas.
2)   Memastikan bahwa program akan sesuai dan cocok dengan tingkat pendidikan, pengalaman, dan keterampilan mereka, serta motivasi peserta.
3)   Melakukan survei untuk mengembangkan sasaran pengetahuan dan kinerja yang dapat diukur.
c.    Merencanakan dan mengembangkan program pelatihan dan pengembangan
      Setelah tujuan teridentifikasi maka organisasi perliu membuat perencanaan sekaligus mengembangkan program ini. Langkah-langkah berikut bisa jadi pedoman:
1)   Tujuan instruksional, metode, media, gambaran dan urutan dari isi, contoh, latihan, dan kegiatan. Untuk itu perlu membuat sebuah kurikulum dan disajikan dalam bentuk blueprint untuk pengembangan program.
2)   Pastikan semua bahan seperti naskah, video, buku pedoman, dan buku peserta ditulis dengan jelas dan cocok dengan sasaran program.
3)   Semua program hendaknya ditangani secara profesional, apakah diproduksi pada kertas, film atau video untuk menjamin kualitas dan efektifitas program.
d.   Implementasi program
Program ini bisa dilakukan dengan dua metode:
1)   On the job training
       Bentuk pelatihan ini mempunyai keuntungan karena cukup fleksibel, baik dalam lokasi dan organisasi. Bentuknya pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan berkaitan langsung dengan pekerjaan karyawan. On the job training (OJT) adalah pelatihan pada karyawan untuk mempelajari bidang kerjanya sambil benar-benar mengerjakannya. Dalam bentuk rekrutmen, OJT adalah satu-satunya jenis pelatihan yang tersedia dan biasanya meliputi karyawan lama yang sudah berpengalaman.
Beberapa bentuk pelatihan OJT antara lain:
a)    Couching/understudy
       Bentuk pelatihan dan pengembangan ini dilakukan tempat kerja oleh atasan atau karyawan yang berpengalaman. Metode ini dilakukan dengan pelatihan secara informal dan tidak terencana dalam melakukan pekerjaan seperti menyelesaikan masalah, partisipasi dengan tim, kekompakan, pembagiaa pekerjaan, dan hubungan dengan atasan atau teman kerja.
b)   Apprenticeship/pelatihan magang.
       Pelatihan dengan mengombinasikan antara pelajaran di kelas dengan praktik di tempat kerja setelah beberapa teori diberikan pada karyawan. Karyawan akan dibimbing untuk mempraktikkan dan mengaplikasikan semua prinsip belajar pada keadaan pekerjaan sesungguhnya.
2)   Off the job training
a)    Lecture
       Teknik ini seperti kuliah dengan presentasi atau ceramah yang diberikan penyelia/pengajar kepada kelompok karyawan. Dilanjutkan komunikasi dua arah dan diskusi. Hal ini digunakan untuk memberikan pengetahuan umum kepada para peserta.
b)   Presentasi dengan video
       Teknik ini menggunakan media video, film atau televisi sebagai sarana presentasi tentang pengetahuan atau bagaimana melakukan suatu pekerjaan. Metode ini dipakai apabila peserta cukup banyak dan masalah yang dikelurkan itu cukup kompleks.
c)    Vestibule training
        Pelatihan dilakukan di tempat yang dibuat seperti tempat kerja yang sesungguhnya dan dilengkapi fasilitas peralatan yang sama dengan pekerjaan yang sesungguhnya.
d)   Role playing/bermain peran
       Teknik pelatihan ini dilakukan seperti simulasi dimana peserta memerankan jabatan atau posisi tertentu untuk bertindak dalam situasi yang khusus. Dengan peran seperti ini akan diketahui bagaimana menghadapi situasi kerja yang sesungguhnya. Peserta mungkin berperan sebagai pelanggan, manajer, rekan kerja, sehingga dapat berinteraksi baik dengan pihak lain.
e)    Studi kasus
       Teknik ini dilakukan dengan memberikan sebuah atau beberapa kasus manajemen untuk dipecahkan dan didiskusikan di kelompok atau tim dimana masing-masing tim akan saling berinteraksi dengan anggota tim yang lain.
f)    Self study
      Merupakan teknik pembelajaran sendiri oleh peserta dimana peserta dituntut untuk proaktif melalui media bacaan, materi video, kaset dan lain-lain. Hal ini biasa dilakukan karena beberapa faktor, di antaranya keterbatasan biaya, keterbatasan frekuensi pertemuan, dan faktor jarak.
g)   Program pembelajaran
       Pembelajaran ini seperti self study,  tapi kemudian peserta diharuskan membuat rangkaian pertanyaan dan jawaban dalam materi sehingga dalam pertemuan selanjutnya rangkaian pertanyaan tadi dapat disampaikan pada penyelia atau pengajar untuk diberikan umpan balik.
h)   Laboratory training
       Latihan untuk meningkatkan kemampuan melalui berbagai pengalaman, peserta, pandangan, dan perilaku di antara para peserta.
i)     Action learning
       Teknik ini dilakukan dengan membentuk kelompok atau tim kecil dengan memecahkan permasalah dan dibantu oleh seorang ahli bisnis dari dalam perusahaan atau luar perusahaan.
            Organisasi dapat memilih salah satu atau lebih teknik di atas untuk diterapkan pada program pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kondisi organisasi.
e.    Evaluasi dan monitoring program
Nilailah program yang dijalankan menurut:
1)   Reaksi-dokumentasi reaksi langsung peserta pelatihan
2)   Belajar-gunakan umpan balik dengan pre tes dan pasca tes untuk apa telah dipelajari peserta.
3)   Perilaku-cacat reaksi kinerja peserta setelah selesai program untuk mengetahui sejauh mana peserta dapat menerapkan keterampilan dan pengetahuan baru para pekerja
4)   Hasil-  tentukan tingkat perbaikan kinerja jabatan dan nilai pemeliharaan yang dibutuhkan.


[1] Sondang P. Siagian, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta : Bumi Aksara, 1999, hlm. 153-156
[2] Ibid., hlm 168-169
[3] Faustino Cardoso Gomes, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta : ANDI, 2003, hlm.197-198
[4] Ike Kusdyah Rachmawati, Manajemen Sumber Daya Manusia, Yogyakarta : ANDI, 2008, hlm. 110

Tidak ada komentar:

Posting Komentar