BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Dalam Teologi Transformatif, umat Islam diharapkan mampu
mendialogkan teologis ke dalam realita. Hal ini sangat membutuhkan
rasionalisasi pemahaman terhadap ajaran Islam, rasionalisasi erat kaitannya
dengan modernisasi, oleh sebab itu modernisasi itu merupakan keharusan bagi
umat Islam, karena modern sangat erat dengan ilmu pengetahuan.
Pada
awal abad ke-20, di Sumatera Barat ditandai dengan periode yang penuh
pergolakan sosial dan intelektual. Berpuluh-puluh buku polemik, baik dalam
bahasa Arab maupun bahasa Melayu mulai banyak diterbitkan, dan berbagai
majalah, surat kabar yang mewartakan hal-hal yang berupa pergolakan pemikiran,
dan aliran-aliran dalam pemahaman mazhab dalam syari’at Islam, mulai banyak
bermunculan, dan pengamalan dalam adat sesui panduan syarak, agama Islam sangat
ramai dibicarakan.Dalam hal ini gerakan Islam modernis atau yang lebih dikenal
sebagai Kaum Muda sangat besar peranannya. Ulama-ulama Kaum Muda mendapat
pengaruh besar dari modernis Islam di Kairo, yaitu Muhammad Abduh dan Syekh
Muhammad Rasyid Ridha, dan juga senior mereka Jamaluddin Al-Afghani. Para
pemikir ini punya kecenderungan berpolitik, namun karena pengaruh Syekh Ahmad
Khatib Al Minangkabawi yang menjadi guru ulama Kaum Muda generasi pertama
mereka umumnya hanya memusatkan perhatian pada dakwah dan pendidikan. Para pelopor gerakan pembaruan di Minangkabau yang menyebarkan
pikiran-pikirannya dari Mekah
B. Rumusan masalah
Dari latar belakang diatas dapat kita
tarik beberapa pertanyaan mengenai pergerakan pembaharuan atau modernisasi yang
digerakkan oleh ulama-ulama lulusan timur tengah di minangkabau (sumatera
barat) antara lain:
1. Apa
yang menjadi alasan ulama kaum muda untuk melakukan gerakan modernisasi Islam di
Sumatera Barat?
2. Siapa
yang menjadi pelopor pembaharuan pemikiran Islam di Minangkabau?
3. Bagaimana
system pendidikan setelah dilakukan pembaharuan atau modernisasi Islam di
Minangkabau?
C. Tujuan penulisan
Adapun tujuan
penulisan adalah:
1.
Mengetahui asbab-musabbab
pergerakan modernisasi islami yang dilakukan oleh ulama kaum muda di Sumatera
Barat.
2.
Mengetahui tokoh-tokoh yang mempelopori pembaharuan
pemikiran islam di minang kabau (Sumatera Barat)
3.
Mengetahui perkembangan pendidikan yang sudah memiliki
sitem kurikulum.
BAB II
PEMBAHASAN
SEJARAH GERAKAN ISLAM MODERNIS DI MINANGKABAU
A. Tahap Puritanisasi
Puritanisasi[1]dalam
catatan sejarah Minangkabau menjadi embrio gerakan nasionalisme yang tergabung
dalam gerakan Paderi. Kelompok puritan di mulai semenjak kepulangan tiga Haji
ke ranah Minang. Di antaranya adalah Haji Miskin. Gerakan Haji Miskin ini pada
awalnya tidak diterima oleh masyarakat, karena gerakannya terkesan keras dan
sering berbenturan dengan masyarakat, bahkan ia pernah
membakar pasar[2] yang sering dijadikan gelanggang judi, tuak dan adu jago.
Di samping itu, kekerasan Haji Miskin sering dihadang oleh kubu-kubu yang tidak
senang dengan cara yang frontal. Haji Miskin dan pengikutnya pernah terlibat
perkelahian dan Haji Miskin melarikan diri ke Bukit Kamang, karena kelompoknya
kalah.
Walaupun
puritanisasi sering gagal dan tidak diterima masyarakat, pergerakan ini tidak
pernah berhenti. Haji Miskin dalam pelariannya menemukan seorang teman yang
sefaham yakni Tuanku Nan Renceh. Kabolarasi dua tokoh ini mengakibatkan
pemurnian Islam di Minangkabau semakin militan. Tuanku Nan Renceh tidak sabar
untuk menegakkan syariat Islam, mencontoh aliran Wahabi dengan menyerukan jihad
yang integral. Bahkan dikabarkan, Tuanku Nan Renceh memulai jihadnya dengan
membunuh kakak perempuan ibunya yang mengkonsumsi tembakau, karena dalam
perspektif Islam mengisap tembakau tidak cocok dengan syariat.
Gerakan puritanisasi ini secara
bertahap bisa diterima oleh masyarakat Minangkabau, ditandai dengan
berkembangnya wilayah-wilayah dakwah dari kelompok puritan dan juga ditopang
oleh kinerja Harimau Nan Salapan. Gerakan mulai merambah menjadi gerakan
perjuangan melawan strategi penjajahan Belanda, dengan terbentuknya gerakan
Paderi tercermin ketika Tuanku Imam Bonjol menentang penjajahan Belanda.[3]
Peran ulama mempunyai double
legal, yakni sebagai ulama yang menyempurnakan pemahaman dan penyebaran
ajaran agama di tengah umatnya, serta sebagai penyebar paham kebangsaan.
Mungkin inilah makna jihad yang dimaksud oleh Tuanku Nan Renceh, ketika hendak
melakukan puritanisasi di Minangkabau; Jihat Hati dan Jihat Lidah dan
Tangan yang terangkum dalam gerakan perang suci.
B. Tahap
modernisasi
Modern
bukan diartikan sebagai “komponen Barat” tetapi lebih dimaknai sebagai setting
keilmuan dan kemajuan sain yang berakar dari nilai-nilai agama. Max Weber,
Robert N. Bellah dan Clifford Geertz, melihat agama sebagai inspirator dari
sebuah gerakan humanisasi, sain, budaya dan seterusnya. Durkheim juga
mengungkapkan agama itu sui generis, oleh Richardson disebutnya sebagai felt whole “perasaan
menyeluruh” yang dibangun oleh agama, sehingga agama hadir dalam konteks apa
pun, dan dijadikan sebagai inspirator oleh manusia sebagai makhluk Tuhan yang
berakal untuk mencerahkan peradaban.[4]
Modernisasi Islam dipahami sebagai perubahan paradigma
pemikiran umat Islam, bukan membangun definisi Islam yang baru. Dilihat dari
alur pemikiran, lahirnya paradigma ini disebabkan “ketidakrelaan” kelompok
pemikir terhadap ketertinggalan umat Islam dalam “merancah” dunia sosialnya,
serta kepicikan pemikiran umat Islam dalam mentransfer literasinya ke dalam
dunia nyata.
Di
Minangkabau, paradigma pemikiran modernisasi Islam ini sebenarnya sudah muncul
semenjak lahirnya puritanisasi sebagai pendobrak pemurnian pemahaman Islam orang
Minangkabau yang sinkretisme. Namun, modernisasi Islam lebih berkembang ketika
awal abad ke-19 seiring dengan bergeraknya kaum agama membangun sekolah-sekolah
agama modern, mengubah sistem surau yang tradisional dengan sistem pendidikan
modern yang klasikal, berijazah dan memiliki kurikulum. Di Padang Panjang
misalnya, surau Jembatan Besi dengan duet tenaga pengajar yakni Haji Abdullah
Ahmad dan Haji Rasul menjadi cikal bakal sekolah Thawalib. Sekolah ini sangat
berpengaruh di Minangkabau.[5]
Proses modernisasi dilakukan melalui dua cara; Pertama,
melalui injection motivation, dan kedua melalui revolusi
think tank. Cara pertama lebih dimotivasi oleh kemajuan dunia luar. Di
Minangkabau, modernisasi dalam institusi pendidikan sangat pengaruhi oleh
sistem pendidikan luar terutama Mekah dan Mesir. Sistem ini dibawa oleh
ulama-ulama Minangkabau dan diterapkan dalam sistem pendidikan Islam lokal.
Akhirnya, terjadi pembaruan dalam isntitusi pendidikan surau menjadi madrasah,[6] yang klasikal dan tidak lagi berhalaqah, serta terjadi
perombakan-perombakan dalam kurikulum pendidikan. Aktor pembaharuan ini di
antarannya:
Syekh Ahmad Khatib adalah turunan dari seorang
hakim golongan Padri yang “benar-benar” anti penjajahan Belanda. Ia dilahirkan
di Bukittinggi pada tahun 1855 oleh ibu bernama Limbak Urai.Limbak Urai adalah
saudara dari Muhammad Shaleh Datuk Bagindo, Laras, Kepala Nagari Ampek Angkek
yang berasal dari Koto Tuo Balaigurah, Kecamatan Ampek Angkek Candung. Ayahnya
adalah Abdullatief Khatib Nagari, saudara dari Datuk Rangkayo Mangkuto, Laras,
Kepala Nagari Kotogadang, Kecamatan IV Koto, di seberang ngarai
Bukittinggi.Baik dari pihak ibu ataupun pihak ayahnya, Ahmad Khatib adalah anak
terpandang, dari kalangan keluarga yang mempunyai latar belakang agama dan adat
yang kuat, anak dan kemenakan dari dua orang tuanku Laras dari Ampek Koto dan
Ampek Angkek. Ditenggarai, bahwa ayah dan ibu Ahmad Khatib dipertemukan dalam
pernikahan berbeda nagari ini, karena sama-sama memiliki kedudukan yang tinggi
dalam adat, dari keluarga tuanku laras, dan latar belakang pejuang Paderi, dari
keluarga Pakih Saghir dan Tuanku nan Tuo.Sejak kecilnya Ahmad Khatib mendapat
pendidikan pada sekolah rendah yang didirikan Belanda di kota kelahirannya. Ia meninggalkan kampung
halamannya pergi ke Mekah pada tahun 1871 dibawa oleh ayahnya. Sampai dia
menamatkan pendidikan, dan menikah pada 1879 dengan seorang putri Mekah Siti
Khadijah, anak dari Syekh Shaleh al-Kurdi, maka Syekh Ahmad Khatib mulai mengajar
dikediamannya di Mekah tidak pernah kembali ke daerah asalnya
Syekh Ahmad Khatib, mencapai derajat kedudukan
yang tertinggi dalam mengajarkan agama sebagai imam dari Mazhab Syafei di
Masjidil Haram, di Mekah. Sebagai imam dari Mazhab Syafe’i, ia tidak melarang
murid-muridnya untuk mempelajari tulisan Muhammad Abduh, seorang pembaru dalam
pemikiran Islam di Mesir.Syekh Ahmad Khatib sangat terkenal dalam menolak dua
macam kebiasaan di Minangkabau, yakni peraturan-peraturan adat tentang warisan
dan tarekat Naqsyahbandiyah yang dipraktekkan pada masa itu. Kedua masalah itu
terus menerus dibahasnya, diluruskan dan yang tidak sejalan dengan syari’at
Islam ditentangnya.
Pemahaman dan pendalaman dari Syekh Ahmad
Khatib el Minangkabawy ini, kemudian dilanjutkan oleh gerakan pembaruan di
Minangkabau, melalui tabligh, diskusi, dan muzakarah ulama dan zu’ama,
penerbitan brosur dan surat-kabar pergerakan, pendirian sekolah-sekolah seperti
madrasah-madrasah Sumatera Thawalib, dan Diniyah Puteri, sampai ke nagari-nagari
di Minangkabau, sehingga menjadi pelopor pergerakan merebut kemerdekaan
Republik Indonesia.
Dalam beberapa karya Ahmad Khatib menunjukkan
bahwa barang siapa masih mematuhi lembaga-lembaga “kafir”, adalah kafir dan
akan masuk neraka. Kemudian, semua harta benda yang diperoleh menurut hukum
waris kepada kemenakan, menurut pendapat Ahmad Khatib harus dianggap sebagai
harta rampasan.Pemikiran-pemikiran yang disampaikan Ahmad Khatib memicu
pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Di pihak lain perlawanan yang berarti
terhadap pemikiran Ahmad Khatib datang dari kalangan Islam tradisi yang
adakalanya disebut kaum tua.
Kecamannya mengenai tarekat, telah dijawab oleh
Syekh Muhamamad Saat bin Tanta’ dari Mungkar dan Syekh Khatib Ali di Padang
jang menerbitkan beberapa tulisan tentang itu.Kecamannya dalam harta warisan,
menumbuhkan kesadaran banyak orang Minangkabau memahami, bahwa tidak dapat
disesuaikan hukum waris matrilineal dengan hukum agama.Di antara guru agama
banyak juga yang tidak dapat menyetujui pendirian Ahmad Khatib, yang dianggap
tidak kenal damai. Walaupun pikiran-pikiran itu mendapat tantangan dari kaum
adat, maupun muridnya yang tidak menyetujui pemikiran demikian, namun perbedaan
pendapat ini telah melahirkan hasrat untuk lebih berkembang, menghidupkan
kembali kesadaran untuk pengenalan kembali diri sendiri, yaitu kesadaran untuk
meninggalkan keterbelakangan.
Syekh Ahmad Khatib al Minangkabawy menyebarkan
pikiran-pikirannya dari Mekah melalui tulisan-tulisannya di majalah atau
buku-buku agama Islam, dan melalui murid-murid yang belajar kepadanya.Dengan
cara itu, beliau memelihara hubungan dengan daerah asalnya Minangkabau, melalui
murid-muridnya yang menunaikan ibadah haji ke Mekah, dan yang belajar padanya.
Mereka inilah kemudian menjadi guru di daerah asalnya masing-masing.Ulama zuama
bekas murid Ahmad Khatib, mulai mengetengahkan pemikiran, manakala Islam
bermaksud tetap memuaskan pengikutnya, maka harus terjadi suatu pembaruan.
Setiap periode dalam sejarah peradaban manusia, melahirkan pembaruan pemikiran
agama yang bertujuan memperbaiki pola penghidupan umatnya. Cita-cita itu
ditemukan kembali dalam agama.
Cara berpikir seorang beragama Islam bertolak
dari anggapan keyakinan, bahwa Islam itu tidak mungkin memusuhi kebudayaan.
Dengan kemajuan cara berpikir orang berusaha menemukan kembali cita-citanya
dalam Islam. Timbul pertanyaan, apakah di dalam Islam ada unsur yang menyangkut
kepada cita-cita persamaan, kebangsaan, hasrat untuk maju dan rasionalisme. Keunggulan
dari Syekh Ahmad Khatib dalam memberikan pelajaran kepada muridnya, selalu
menghindari sikap taqlid. Salah seorang dari muridnya, yakni H.Abdullah Ahmad,
yang kemudian menjadi salah seorang di antara para ulama dan zuama, pemimpin
kaum pembaru di Minangkabau, pendiri Sumatera Thawalib, yang berawal dari
pengajian di Masjid Zuama, Jembatan Besi, Padangpanjang, dan kemudian
mendirikan pula Persatuan Guru Agama Islam (PGAI), di Jati, Padang, telah
mengembangkan ajaran gurunya melalui pendidikan dan pencerahan tradisi ilmu dan
mendorong pula para muridnya untuk mempergunakan akal yang sesungguhnya adalah
kurnia Allah.[7]
Jika kepercayaan hanya tumbuh semata-mata
karena penerimaan atas wibawa guru semata, maka kepercayaan itu tidak ada
harganya, dan itulah yang membuka pintu taqlid. Peperangan melawan penjajahan
asing tidak semata-mata dengan menggunakan senjata, bedil dan kelewang, tetapi
pencerdasan anak kemenakan dengan memberikan senjata tradisi ilmu. Murid-muridnya
kemudian menjadi penggerak pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau, seperti Syekh
Muhammad
Djamil
Djambek (1860 – 1947) , Haji Abdul Karim Amarullah (1879-1945) , dan Haji
Abdullah Ahmad (1878 – 1933) .[8]
2. Haji Abdul Karim Amarullah .
Haji Abdul Karim Amarullah lebih dikenal dengan nama Haji
Rasul. Haji Rasul dilahirkan di Sungai Batang Maninjau pada tahun 1879, anak
seorang ulama bernama Syekh Muhammad Amarullah gelar Tuanku Kisai. Ia mendapat
pendidikan pada beberapa tempat di Minangkabau. Pada tahun 1894, ia pergi ke
Mekah untuk belajar selama 7 tahun. Sekembalinya dari Mekah, ia diberi gelar
Tuanku Syekh Nan Mudo, sebagai pengakuan atas ilmunya. Kemudian ia kembali ke
Mekah untuk beberapa tahun sampai tahun 1906. Selama bermukim kedua di Mekah
ini, ia mulai memberi pelajaran. Murid-muridnya termasuk Ibrahim Musa dari
Parabek, Bukittinggi yang kemudian menjadi salah seorang pendukung yang
terpenting dari pembaruan pemikiran Islam, di Minangkabau. Ia meninggal di jakarta pada 2 Juni 1945.
Haji Rasul mulai mengajar di kampungnya, Sugai Batang
Maninjau, kemudian mengunjungi Padang Panjang, Matur dan Padang. Tablighnya bersifat keras, yang
ditandai dengan serangan terhadap perbuatan yang tidak disetujuinya sampai
soal-soal kecil sekali pun, seperti ia mengecam baju kebaya dan terbukanya
rambut seorang perempuan di hadapan bukan muhrimnya. Ketika ayahnya meninggal
pada tahun 1907, ia melarang diadakan kenduri yang menyebabkan kekecewaan pada
anggota keluarganya. Sikapnya bermusuhan terhadap adat dan kepada ninik mamak
yang membedakannya dari sahabatnya kaum pembaru lainnya seperti Syekh Djamil
Djambek dan Haji Abdullah Ahmad yang ibu mereka berasal dari luar Minangakabau.
Haji Rasul mengadakan perjalanan ke luar daerah
Minangkabau. Pada tahun 1915, ia bepergian ke Malaya
dan ke Jawa. Di Malaya, Haji Rasul tidak disenangi oleh Sultan-Sultan serta
guru agama di Malaya, karena keterikatan
guru-guru agama dengan kebiasaan-kebiasaan tradisional. Di Jawa, ia
berhubungan dengan pemimpin-pemimpin Sarekat Islam dan Muhamma-diyah.Haji Rasul
sangat aktif dalam gerakan pembaruan pemikiran Islam di Minangkabau. Dialah
yang memperkenalkan Muhammadiyah di Minangkabau pada tahun 1925. Suraunya di
Padang Panjang tumbuh menjadi Sumatra Thawalib yang kemudian melahirkan
Persatuan Muslimin Indonesia,
suatu partai politik pada permulaaan tahun 1930. Ia menjadi penasehat Persatuan
Guru Agama Islam (PGAI) pada tahun 1920, dan memberikan bantuan mendirikan
Sekolah Normal Islam di Padang pada tahun 1931. Ia menentang ajaran komunis
dengan sangat gigih pada tahun 1920-an dan menyerang ‘’Ordonansi Guru” pada
tahun 1928 serta ‘’Ordonansi Sekolah Liar ‘ tahun 1932.
Dari tahun 1929 sampai tahun 1939, ia sering bepergian ke seluruh daerah di Sumatra untuk menyampaikan buah pikiran dan ajaran-ajarannya.[9]
Dari tahun 1929 sampai tahun 1939, ia sering bepergian ke seluruh daerah di Sumatra untuk menyampaikan buah pikiran dan ajaran-ajarannya.[9]
Pada tahun 1941, ia ditahan Pemerintah Belanda dan dibuang
ke Sukabumi dengan alasan bahwa kewibawaan dan kekuasaan pemerintah serta
peraturan adat tidak berfunghsi selama ia bertempat tinggal di daerahnya. Haji
Rasul meninggal dunia di Jakarta
pada tanggal 2 Juni 1945.[10]
3. Haji Abdullah Ahmad
(1878 – 1933)
Haji Abdullah Ahmad lahir di Padang Panjang pada tahun 1878
sebagai anak dari Haji Ahmad yang dikenal sebagai ulama dan juga seorang
pedagang kecil. Ibunya berasal dari Bengkulu. Setelah menyelesaikan pendidikan
dasarnya pada sebuah sekolah pemerintah, dan mendapat pendidikan agama di rumah
dengan ayahnya. Pada tahun 1895, Abdullah Ahmad pergi ke Mekah dan kembali ke Indonesia
pada tahun 1899. Sekembalinya dari Mekah, ia segera mengajar di kota Padang Panjang. Tindakannya
yang pertama dilakukannya adalah memberantas bid’ah dan tarekat. Ia tertarik
pula untuk menyebarkan pemikiran pembaruan melalui publikasi dengan jalan
menjadi agen dari berbagai majalah pembaruan, seperti Al-Imam di Singapuran dan
Al-Ittihad dari Cairo.
Pada tahun 1906 Haji Abdullah Ahmad pindah ke Padang untuk menggantikan
pamannya yang meninggal dunia sebagai guru. Di Padang, ia
mengadakan tabligh-tabligh dan pertemuan-pertemuan tentang masalah agama dan
mendirikan Jamaah Adabiyah beberapa tahun kemudian. Pada mulanya jamaah ini
hanaya delapan orang yang menghadiri cermahnya. Di samping itu ia memberikan
ceramah-ceraman pada orang dewasa. Pengajiannya dilakukan dua kali seminggu
secara bergantian dari rumah ke rumah Kenyataannya tidak semua anak-anak
pedagang di Padang
mendapat pendidikan yang sistematis. Hal ini menyebabkan Haji Abdullah Ahmad
membuka Sekolah Adabiyah pada tahun 1909, dengan bantuan para pedagang ini
setelah ia mengunjungi sekolah Iqbal di Singapura.
Haji Abdullah Ahmad sangat aktif menulis, malahan ia
menjadi ketua persatuan wartawan di Padang
pada tahun 1914. Ia mempunyai hubungan yang erat dengan pelajar-pelajar sekolah
menengah di Padang
dan Sekolah Dokter di Jakarta dan memberikan bantuan dalam kegiatan Jong
Sumatranen Bond. Ia menjadi pendiri majalah Al-Munir yang terbit di Padang tahunn
1911 sampai tahun 1916, majalah berita Al-Akhbar tahun 1913, dan menjadi
redaktur dalam bidang agama dari majalah Al-Islam tahun 1916 yang diterbitkan
Sarekat Islam di Surabaya. Majalah A l-Islam yang dicetak dengan tulisan Arab
Melayu (Jawi). Pananggungjawab Al-Islam adalah Oemar Said
Cokroaminoto.Pengetahuannya tentang agama sangat mendalam, yang diakui
ulama-ulama Timur Tengah pada suatu konperensi khilafat di Kairo pada tahun
1926. Pengakuan itu dibuktikan dengan pemberian gelar kehormatan dalam bidang
agama sebagai doktor fid- din. Haji Abdullah Ahmad meninggal dunia di Padang pada tahun 1933.[11]
4.Syekh M. Djamil Djambek
Di awal abad 20, Inyiak Djambek dikenal sebagai ahli ilmu
falak terkemuka, dan mendirikan rumah ibadah yang dikenal dengan Surau Sjech M.
Djamil Djambek pada tahun 1908., Sebagai ulama Inyiak Djambek tidak hanya
meninggalkan karya-karya besar dalam bentuk manuskrip, tradisi lisan, bahasa
dan sastra, kelembagaan tradisional, buku dan naskah-naskah kuno dalam bahasa
Arab Melayu, tetapi Beliau juga mewariskan Surau sebagai asset lokal alam
tamadun kejayaan Islam Minangkabau pada tempo dulu, tentu dengan harapan
dihari-hari mendatang akan dikembangkan oleh generasi penerus (keluarga dan
masyarakat Islam) sesuai dengan kebutuhan zaman
Ketika berusia 22 tahun, Sjech M. Djamil Djambek dibawa
ayahnya berguru kepada Sjech Ahmad Khatib Al-Minangkabawi di Mekkah. Awalnya M.
Djamil Djambek tertarik untuk mempelajari ilmu sihir. Namun beliau disadarkan
dan diinsyafkan oleh gurunya tersebut. Selama belajar di tanah suci, banyak
ilmu agama yang beliau dapatkan. Antara lain yang dipelajari secara intensif
adalah tentang ilmu tarekat serta memasuki suluk di Jabal Abu Qubais. Dengan
pendalaman tersebut Sjech M. Djamil Djambek menjadi seorang ahli tarekat,
bahkan memperoleh ijazah dari tarekat Naqsabandiyyah-Khalidiyah. Namun,seiring
berjalannya waktu, sikap dan pandangannya terhadap tarekat mulai berubah.
Sjech. M. Djamil Djambek tidak lagi tertarik pada tarekat.
Pada awal tahun 1905, ketika diadakan pertemuan ulama guna
membahas keabsahan tarekat yang berlangsung di Bukit Surungan, Padangpanjang,
Sjech. M. Djamil Djambek berada di pihak yang menentang tarekat. Dia
“berhadapan” dengan
Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat. Salah satu penjelasan dalam buku yang berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan segala yang berhubungan dengan Dia (Allah SWT), dinyatakan bahasa tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang Persia dan India. Sjech. M. Djamil Djambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Syekh Bayang dan Haji Abbas yang membela tarekat. Salah satu penjelasan dalam buku yang berjudul Penerangan Tentang Asal Usul Thariqatu al-Naksyabandiyyah dan segala yang berhubungan dengan Dia (Allah SWT), dinyatakan bahasa tarekat Naksyabandiyyah diciptakan oleh orang Persia dan India. Sjech. M. Djamil Djambek menyebut orang-orang dari kedua negeri itu penuh takhayul dan khurafat yang makin lama makin jauh dari ajaran Islam.
Buku lain yang ditulisnya berjudul Memahami Tasawuf dan
Tarekat dimaksudkan sebagai upaya mewujudkan pembaruan pemikiran Islam. Akan
tetapi secara umum dia bersikap tidak ingin bermusuhan dengan adat istiadat
Minangkabau. Tahun 1929, Sjech. M. Djamil Djambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat. Di samping untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, beliau juga turut menghadiri kongres pertama MajelisTinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnyadalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Sjech. M. DjamilDjambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi, dantetap menjalankan aktifitas dakwah, meskipun mendapat tantangan daripenjajah Jepang.
Minangkabau. Tahun 1929, Sjech. M. Djamil Djambek mendirikan organisasi bernama Persatuan Kebangsaan Minangkabau dengan tujuan untuk memelihara, menghargai, dan mencintai adat istiadat setempat. Di samping untuk memelihara dan mengusahakan agar Islam terhindar dari bahaya yang dapat merusaknya. Selain itu, beliau juga turut menghadiri kongres pertama MajelisTinggi Kerapatan Adat Alam Minangkabau tahun 1939. Yang tak kalah pentingnyadalam perjalanan dakwahnya, pada masa pendudukan Jepang, Sjech. M. DjamilDjambek mendirikan Majelis Islam Tinggi (MIT) berpusat di Bukittinggi, dantetap menjalankan aktifitas dakwah, meskipun mendapat tantangan daripenjajah Jepang.
Pada tahun
1903, beliau kembali ke tanah air dan memilih mengamalkanilmunya secara
langsung kepada masyarakat; mengajarkan ilmu tentang ketauhidan dan mengaji.
Kiprahnya mampu memberikan warna baru di bidang kegiatan keagamaandi Sumatra
Barat. Mengutip Ensiklopedi Islam , Sjech. M. Djamil Djambek jugadikenal
sebagai ulama yang pertama kali memperkenalkan cara bertablig dimuka umum.
Barzanji (rawi) atau marhaban (puji-pujian) yang biasanya
dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw,digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad Sawdalam bahasa Melayu.
dibacakan di surau-surau saat peringatan Maulid Nabi Muhammad Saw,digantinya dengan tablig yang menceritakan riwayat lahir Nabi Muhammad Sawdalam bahasa Melayu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ulama merupakan figur sentral penting dalam pendidikan di
Minangkabau. Ulama merupakan tokoh kunci dalam membangun karakteristik
Minangkabau yang berasaskan adat basandi syarak, syarak bansandi
kitabullah. Dari segi pemikiran, ulama sebenarnya telah membentangkan
pemikirannya melalui institusi pendidikan yang didirikannya sendiri, terutama
sekali melalui institusi pendidikan surau. Dalam pergerakan
pendidikan, eksistensi ulama sekurang-kurangya telah memberikan dua sumbangsih,
yakni sebagai penyebaran aliran ajaran agama Islam, dan kedua sebagai
penyebaran pemikiran ulama itu sendiri. Penyebaran pemikiran ini kemudian
menjadi cikal bakal pergerakan dan kemudian membuat link guru dengan
murid tidak terputus. Kultur link seperti ini mampu mempercepat
penyebaran Islam dan transformasi masyarakat Minangkabau.
DAFTAR PUSTAKA
Burhanuddin, Gerakan Pembaharuan Pemikiran Islam: Kasus Sumatera
Thawalib, Yogyakarta: Tiara Wacana 1990.
Gazalba, Sidi, Masjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka Antara
1983.
Nain, Sjafnir Aboe, Tuanku Imam Bonjol; Sejarah
Intelektual Islam di Minangkabau 1784-1832. Padang: Penerbit Esa, 1988.
Noer, Deliar, Gerakan Modern Islam di Indonesia tahun 1855-1945.
Jakarta: LP3ES
1980.
http://google.com//Sejarah
Islam modernis di Minangkabau
[1] Yakni kelompok ulama yang mengadakan pembaruan atau pemurnian atas sinkretisme pemahaman dan pengalaman keagamaan masyarakat
[7]Burhanuddin, op.cit, hlm.65
[8] Deliar
Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1855-1945. Jakarta: LP3ES 1980. hlm.40
[9] Sidi
Gazalba, lock. cit, hlm.57
[10] Deliar
Noer, op. cit, hlm.43
[11]Deliar
Noer, ibid, hlm.46