PENEMPATAN, PELATIHAN DAN PENGEMBANGAN
A. Penempatan
Dari setiap
pekerja dalam organisasi diharapkan adanya komitmen penuh terhadap organisasi,
tidak sekedar ketaatan kepada berbagai ketentuan kepegawian yang berlaku dalam
organisasi yang bersangkutan. Tetapi dalam pada itu organisasi pun mutlak perlu
menanamkan dalam diri para karyawannya bahwa dengan komitmen penuh pada
organisasi, berbagai harapan, cita-cita dan harapan para pegawai itu akan
terwujud dan terpenuhi.
Hari-hari pertama seorang pekerja baru
sangat menentukan “perjalanan” selanjutnya dalam meniti karier dalam organisasi
yang bersangkutan. Merupakan hal yang sangat normal dan wajar bahwa pada
hari-hari pertama itu, berbagai pertanyaan timbul dalam diri pekerja baru
tersebut seperti:
1.
Apakah
organisasi yang baru menerimanya benar-benar cocok sebagai tempat berkarya dan
meniti karier atau tidak.
2.
Apakah
pegawai yang bersangkutan baru mampu melaksanakan tugas yang dipercayakan
kepadanya.
3.
Apakah
pegawai baru yang bersangkutan akan disenangi oleh orang-orang lain dengan
siapa ia berinteraksi seperti atasan, rekan sekerja, dan bagi mereka yang
menduduki jabatan manajerial, para bawahan
4.
Berbagai
pertanyaan lain yang sejenis.
Salah satu cara yang segera dapat ditempuh
adalah menunjukkan penerimaan yang ikhlas sambil menegaskan bahwa pegawai baru
itu dapat diharapkan akan menjadi pekerja yang produktif. Loyal kepada
organisasi dan kepada teman sekerja dan berperilaku positif, sekaligus memberi
kesan bahwa organisasi akan berusaha memenuhi kepentingan pegawai yang
bersangkutan. Dengan perkataan lain, sejak dini harus ditekankan bahwa jika
pegawai baru itu menunaikan kewajiban dengan baik, dia akan memperoleh hak dan
kewajiban masing-masing pihak, merupakan jaminan serasinya hubungan antara
pegawai dengan organisasinya.
Penekanan ini menjadi
lebih penting mendapat perhatian para pengelola sumber daya manusia dalam
setiap organisasi karena ada kecenderungan tingginya jumlah pegawai baru yang
minta berhenti. Pengalaman banyak organisasi menunjukkan persentase yang
relatif tinggi di kalangan pekerja baru yang berhenti. Keadaan yang demikian
bukanlah hal yang luar biasa. Berbagai alasan berkisar pada:
1.
Kuatnya
perasaan bahwa organisasi tidak/kurang sesuai dengan gambaran yang sebelumnya
diperoleh.
2.
Keragu-raguan
para pekerja baru sendiri tentang
kemampuannya melaksanakan tugas.
3.
Situasi
kerja yang dihadapi pada hari-hari pertma yang berbeda dari kesan yang pernah
diperoleh.
4.
Bentuk
dan sifat penerimaan para pekerja lama yang mungkin dirasakan kurang
bersahabat.
Di atas
telah dikatakan bahwa tingginya prestasi pegawai baru yang berhenti bukanlah
hal yang luar biasa. Dikatakan demikian bukan hanya karena keadaan seperti itu
lumrah terjadi, akan tetapi juga karena memang lebih baik apabila orang-orang
tertentu berhenti secepatnya sebelum organisasi mengeluarkan biaya yang lebih
besar untuk membayar gaji, asuransi, kesejahteraan pegawai dan pengembangannya,
padahal mereka tidak akan berkarya dalam waktu yang cukup lama bagi organisasi.
Meskipun demikian, jika persentase pegawai baru yang berhenti itu tinggi, perlu
dipelajari faktor-faktor penyebabnya. Jika ternyata faktor-faktor penyebabnya
itu bersumber dari situasi negatif dalam organisasi, hal tersebut harus
diterima sebagai masukan penting bagi organisasi dalam mengambil
langkah-langkah perbaikannya.
Jelaslah bahwa dalam mewaspadai keadaan seperti itu para pejabat dan
petugas yang bertanggungjawab mengelola sumber daya manusia dalam organisasi
perlu bersikap proaktif dalam arti bahwa mereka harus mampu mengambil
langkah-langkah yang diperlukan agar para pegawai baru merasa betah. Mereka
hanya akan merasa betah berkarya dalam organisasi apabila merasa cocok untuk
berkarier dalam organisasi yang baru dimasukinya. Salah satu cara yang tepat untuk ditempuh dalam sikap yang
proaktif itu adalah mengusahakan terjadinya sosialisasi di kalangan para
pegawai baru. Yang dimaksud dengan proses sosialisasi adalah usaha sadar yang
dilakukan oleh organisasi melalui para pejabat dan petugas pengelola sumber
daya manusia serta atasan langsung para
pegawai baru yang ditujukan pada pemahaman kultur organisasi.
Nilai-nilai organisasi yang dianut, norma-norma yang berlaku dan tradisi
organsasi. Dengan demikian para pegawai baru akan memahami dengan tepat:
1.
Apa
yang boleh dan tidak boleh dilakukan
2.
Bagaimana
sebaiknya berprilaku yang akseptabel
3.
Penyesuaian-penyesuaian
apa yang perlu dilakukan
4.
Kebiasaan-kebiasaan
pribadi apa yang perlu ditinggalkan jika tidak sesuai dengan
kebiasaan-kebiasaan organisasi.
Dengan
demikian para pegawai baru itu dalam waktu yang tidak terlalu lama menjadi
anggota organisasi yang benar-benar memahami sikap, berprilaku dan tindakan
yang mengakibatkan seorang diterima sebagai anggota organisasi yang baik.
Semakin cepat para pegawai baru itu memahami cara bertindak dan berprilaku yang
akseptabel, semakin cepat pula mereka mampu memberikan kontribusinya yang
optimal. Semakin kecil pula kemungkinan karena minta berhenti.[1]
Banyak
orang yang berpendapat bahwa penempatan merupakan akhir dari proses seleksi.
Menurut pandangan ini, jika seluruh proses seleksi telah ditempuh dan lamaran
seseorang telah ditempuh dan lamaran seseorang diterima, akhirnya seseorang
memperoleh status sebagai pegawai dan ditempatkan pada posisi tertentu pula.
Pandangan demikian memang tidak salah sepanjang menyangkut para pegawai baru.
Hanya saja teori manajemen sumber daya manusia yang mutakhir menekankan bahwa
penempatan tidak hanya berlaku bagi para pegawai baru, akan tetapi berlaku pula
bagi para pegawai lama yang mengalami alih tugas dan mutasi. Berarti konsep penempatan
mencakup promosi, transfer dan bahkan demosi sekalipun. Dikatakan demikian
karena sebagai mana halnya dengan para pegawai baru, pegawai lama pun perlu
direkrut secara internal, perlu dipilih dan biasanya juga menajalani program
pengenalan sebelum mereka ditempatkan pada posisi baru dan mengerjakan baru
pula. Sifat program pengenalan yang harus dilalui pun agak berbeda dengan
kegiatan yang harus diikuti oleh para pegawai baru. Lingkup program pengenalan
itu lebih sempit karena terbatas pada pengenalan yang baru sedangkan hal-hal
yang menyangkut aspek organisasional dan kepentingan pegawai tidak lagi
dijadikan bagian dari program pengenalan karena pegawai yang bersangkutan telah
mengetahui yang lebih baik.[2]
B. Pelatihan
dan pengembangan
1.
Pengertian
dan tujuan pelatihan dan pengembangan
Pelatihan adalah setiap usaha untuk
memperbaiki performasi pekerja pada suatu pekerjaan tertentu yang sedang
menjadi tanggungjawabnya, atau satu pekerjaan yang ada kaitannya dengan
pekerjaannya. Istilah pelatihan sering disamakan dengan istilah pengembangan.
Pengembangan (development) menunjuk
kepada kesempatan-kesempatan belajar (Learning
oppotunities) yang didesain guna membantu pengembangan para pekerja.
Kesempatan yang demikian tidak terbatas pada upaya perbaikan performansi
pekerja pada pekerjaannya yang sekarang, jadi pelatihan langsung berkaitan
dengan performansi kerja, sedang pengembangan (development) tidaklah harus.
Pelatihan sering dianggap sebagai
aktivitas yang paling dapat dilihat umum dari semua aktivitas kepegawaian. Para
majikan melakukan pelatihan karena melalui pelatihan para pegawai akan menjadi
lebih terampil, dan karenanya lebih produktif, sekalipun manfaat-manfaat
tersebut harus diperhitungkan dengan waktu yang tersita ketika pegawai sedang
dilatih.
Pelatihan hanya bermanfaat dalam situasi
di mana para pegawai kekurangan kecakapan dan pengetahuan. Pelatihan tidak
dimaksudkan untuk menggantikan kriteria seleksi yang tidak memadai, ketidaktepatan rancangan pekerjaan, atau
imbalan organisasi yang tidak memadai. Pelatihan lebih sebagai sarana yang ditujukan pada upaya untuk lebih
mengaktivkan kerja para anggota organisasi yang kurang aktiv sebelumnya,
mengurangi dampak-dampak negatif yang dikarenakan kurangnya pendidikan,
pengalaman yang terbatas, atau kurangnya kepercayaan diri dari anggota atau
kelompok anggota tertentu.[3]
Pelatihan dan pengembangan ditujukan
untuk mempertahankan dan meningkatkan prestasi kerja para karyawan. Pelatihan
ditujukan untuk meningkatkan prestasi kerja saat ini, sedangkan pengembangan
ditujukan untuk meningkatkan prestasi saat ini dan masa depan. Pelatihan
diarahkan untuk membantu karyawan melaksanakan pekerjaan saat ini secara lebih
baik. Pengembangan mewakili investasi pengembangan yang berorientasikan masa
depan para diri karyawan. Baik karyawan manajerial maupun nonmanajerial akan
menjalani pelatihan dan pengembangan. Karyawan nonmanajerial barang kali akan
lebih banyak menerima pelatihan yang bersifat teknis dibandingkan dengan
manajer yang lebih banyak menerima pengembangan dalam bentuk keterampilan
konseptual atau analitis dan keterampilan hubungan manusiawi untuk memperdalam
wawasan mereka guna membawa rekrutmen pada tujuan yang strategis dan spesifik.[4]
2.
Langkah-langkah
pelatihan dan pengembangan
a.
Mengidentifikasi
kebutuhan pelatihan
Dalam tahap awal, organisasi perlu
membuat identifikasi kebutuhan pelatihan dan pengembangan. Siap saja yang perlu
diberikan pelatihan dan pengembangan? Apa yang perlu dipelajari oleh karyawan?
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, manajemen dapat menggunakan langkah-langkah
sebagai berikut:
1)
Evaluasi
prestasi
Melakukan monitoring pada setiap
karyawan dan hasilnya dibandingkan dengan standar prestasi atau target
rekrutmen. Karyawan yang mempunyai hasil prestasi kurang atau di bawah standar
yang telah ditetapkan organisasi, mengindikasikan organisasi perlu mengadakan
program pelatihan dan pengembangan karyawan.
2)
Analisis
persyaratan kerja
Organisasi perlu mengetahui kemampuan
dan keahlian yang dimiliki karyawan. Karena jila karyawan diserahi tugas atau
pekerjaan, tetapi tidak memiliki keterampilan yang mendukung pekerjaan tersebut
maka karyawan tersebut membutuhkan pelatihan.
3)
Analisis
organisasi
Analisis organisasi bertujuan meninjau
kembali apakah tujuan organisasi secara keseluruhan sudah tercapai atau belum. Tujuan oraganisasi secara keseluruhan
perlu ditinjau kembali apakah memang sudah mencapai target atau belum. Apabila organisasi
tidak atau belum mencapai target dengan efektif maka manajemen perlu program
pelatihan.
4)
Survei
sumber daya manusia
Seluruh manajemen dan karyawan diminta
menjelaskan masalah dan hambatan yang dihadapi selama program ini berlangsung
untuk mengetahui tindakan apa yang akan dilakukan untuk menyelesaikan masalah
tersebut.
b.
Menentukan
tujuan pelatihan dan pengembangan
Berbagai bentuk alternatif tujuan
lainnya memang harus secara gamblang ditentukan untuk mengetahui kearah mana
rekrutmen akan membentuk sumber daya manusianya dengan aplikasi program ini.
Berikut langkah-langkahnya:
1)
Mengidentifikasi
keterampilan-keterampilan kinerja jabatan khusus yangdibutuhkan untuk
memperbaiki kinerja dan produktivitas.
2)
Memastikan
bahwa program akan sesuai dan cocok dengan tingkat pendidikan, pengalaman, dan
keterampilan mereka, serta motivasi peserta.
3)
Melakukan
survei untuk mengembangkan sasaran pengetahuan dan kinerja yang dapat diukur.
c.
Merencanakan
dan mengembangkan program pelatihan dan pengembangan
Setelah tujuan teridentifikasi maka
organisasi perliu membuat perencanaan sekaligus mengembangkan program ini.
Langkah-langkah berikut bisa jadi pedoman:
1)
Tujuan
instruksional, metode, media, gambaran dan urutan dari isi, contoh, latihan,
dan kegiatan. Untuk itu perlu membuat sebuah kurikulum dan disajikan dalam
bentuk blueprint untuk pengembangan
program.
2)
Pastikan
semua bahan seperti naskah, video, buku pedoman, dan buku peserta ditulis
dengan jelas dan cocok dengan sasaran program.
3)
Semua
program hendaknya ditangani secara profesional, apakah diproduksi pada kertas,
film atau video untuk menjamin kualitas dan efektifitas program.
d.
Implementasi
program
Program
ini bisa dilakukan dengan dua metode:
1)
On the job training
Bentuk pelatihan ini mempunyai
keuntungan karena cukup fleksibel, baik dalam lokasi dan organisasi. Bentuknya
pun dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan berkaitan langsung dengan pekerjaan
karyawan. On the job training (OJT)
adalah pelatihan pada karyawan untuk mempelajari bidang kerjanya sambil
benar-benar mengerjakannya. Dalam bentuk rekrutmen, OJT adalah satu-satunya
jenis pelatihan yang tersedia dan biasanya meliputi karyawan lama yang sudah
berpengalaman.
Beberapa bentuk
pelatihan OJT antara lain:
a)
Couching/understudy
Bentuk pelatihan dan pengembangan ini
dilakukan tempat kerja oleh atasan atau karyawan yang berpengalaman. Metode ini
dilakukan dengan pelatihan secara informal dan tidak terencana dalam melakukan
pekerjaan seperti menyelesaikan masalah, partisipasi dengan tim, kekompakan,
pembagiaa pekerjaan, dan hubungan dengan atasan atau teman kerja.
b)
Apprenticeship/pelatihan magang.
Pelatihan dengan mengombinasikan antara
pelajaran di kelas dengan praktik di tempat kerja setelah beberapa teori
diberikan pada karyawan. Karyawan akan dibimbing untuk mempraktikkan dan
mengaplikasikan semua prinsip belajar pada keadaan pekerjaan sesungguhnya.
2)
Off the job training
a)
Lecture
Teknik ini seperti kuliah dengan
presentasi atau ceramah yang diberikan penyelia/pengajar kepada kelompok
karyawan. Dilanjutkan komunikasi dua arah dan diskusi. Hal ini digunakan untuk
memberikan pengetahuan umum kepada para peserta.
b)
Presentasi
dengan video
Teknik ini menggunakan media video, film
atau televisi sebagai sarana presentasi tentang pengetahuan atau bagaimana
melakukan suatu pekerjaan. Metode ini dipakai apabila peserta cukup banyak dan
masalah yang dikelurkan itu cukup kompleks.
c)
Vestibule training
Pelatihan dilakukan di tempat yang
dibuat seperti tempat kerja yang sesungguhnya dan dilengkapi fasilitas
peralatan yang sama dengan pekerjaan yang sesungguhnya.
d)
Role playing/bermain peran
Teknik pelatihan ini dilakukan seperti
simulasi dimana peserta memerankan jabatan atau posisi tertentu untuk bertindak
dalam situasi yang khusus. Dengan peran seperti ini akan diketahui bagaimana
menghadapi situasi kerja yang sesungguhnya. Peserta mungkin berperan sebagai
pelanggan, manajer, rekan kerja, sehingga dapat berinteraksi baik dengan pihak
lain.
e)
Studi
kasus
Teknik ini dilakukan dengan memberikan
sebuah atau beberapa kasus manajemen untuk dipecahkan dan didiskusikan di
kelompok atau tim dimana masing-masing tim akan saling berinteraksi dengan
anggota tim yang lain.
f)
Self study
Merupakan teknik pembelajaran sendiri
oleh peserta dimana peserta dituntut untuk proaktif melalui media bacaan,
materi video, kaset dan lain-lain. Hal ini biasa dilakukan karena beberapa
faktor, di antaranya keterbatasan biaya, keterbatasan frekuensi pertemuan, dan
faktor jarak.
g)
Program
pembelajaran
Pembelajaran ini seperti self study, tapi kemudian peserta diharuskan membuat
rangkaian pertanyaan dan jawaban dalam materi sehingga dalam pertemuan selanjutnya
rangkaian pertanyaan tadi dapat disampaikan pada penyelia atau pengajar untuk
diberikan umpan balik.
h)
Laboratory training
Latihan untuk meningkatkan kemampuan
melalui berbagai pengalaman, peserta, pandangan, dan perilaku di antara para
peserta.
i)
Action learning
Teknik ini dilakukan dengan membentuk
kelompok atau tim kecil dengan memecahkan permasalah dan dibantu oleh seorang
ahli bisnis dari dalam perusahaan atau luar perusahaan.
Organisasi
dapat memilih salah satu atau lebih teknik di atas untuk diterapkan pada
program pendidikan dan pelatihan sesuai dengan kondisi organisasi.
e.
Evaluasi
dan monitoring program
Nilailah
program yang dijalankan menurut:
1)
Reaksi-dokumentasi
reaksi langsung peserta pelatihan
2)
Belajar-gunakan
umpan balik dengan pre tes dan pasca tes untuk apa telah dipelajari peserta.
3)
Perilaku-cacat
reaksi kinerja peserta setelah selesai program untuk mengetahui sejauh mana
peserta dapat menerapkan keterampilan dan pengetahuan baru para pekerja
4)
Hasil- tentukan tingkat perbaikan kinerja jabatan
dan nilai pemeliharaan yang dibutuhkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar